Kamis, 27 Februari 2020

Perjalanan Peci Hitam



Peci bisa diartikan juga sebagai kopiah atau songkok. Bicara soal sejarah peci, sebagian orang akan mengacu pada Fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki atau petje dari bahasa Belanda, artinya topi kecil. Sementara nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacu pada keffiehkaffiyeh atau kufiya dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok.

Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi. Sementara, istilah songkok, mengacu dari bahasa melayu dan Bugis. Di beberapa daerah di Indonesia dengan pengaruh Melayu dan Bugis, menyebut peci sebagai Songkok. Demikian pula di Malaysia dan Brunei.

Sebelum ada peci, laki-laki di Indonesia terbiasa menutup kepala dengan ikat kepala. Tanpa tutup kepala, seorang laki-laki dianggap tak jauh beda dengan orang telanjang. Tutup kepala adalah bagian dari kesopanan.

Menurut Rozan Yunos, dalam artikelnya The Origin of the Songkok or Kopiah di The Brunei Times (23/09/2007), peci diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam. Rozan juga menyebut beberapa ahli berpendapat di Kepulauan Malaya peci atau kopiah ini sudah dipakai pada abad XIII. Setelah dipopulerkan para pedagang Arab itu, baru orang Malaysia, Indonesia dan Brunei mengikutinya.

Peci mulai ramai dipakai di Indonesia setelah kain lebih mudah diperoleh. Pemakainya tak selalu berbaju resmi. Ada yang menggunakan peci meski bercelana pendek. Penggunanya pun bukan hanya dari kalangan berada, tetapi juga rakyat jelata.

Zaman dahulu, ketika Raja Bone dijabat La Pawawoi lalu Andi Mappanyuki, Songkok Recca atau peci Bugis ini hanya dikenakan kain bangsawan. Sebuah foto zaman kolonial, memperlhatkan Raja La Pawawoi tengah mengenakan songkok ketika ditangkap pada 1905. Sementara lukisan diri Andi Mappanyuki pun memperlihatkan sosoknya tengah mengenakan songkok. Namun, dalam perkembangannya songkok tidak hanya digunakan oleh kalangan Raja Bone, tetapi juga rakyat biasa. Peci Bugis saat ini jadi bagian dari pakaian daerah Sulawesi Selatan.

Peci, biasanya terbuat dari kain beludru yang diberi rangka plastik padat agar tegak. Di Tanah Bugis, Peci tradisional mereka, terbuat dari pelepah daun lontar yang dipukul-pukul hingga menjadi serat, lalu dianyam. Peci ini disebut Songkok Recca. Ukurannya berbeda dengan peci yang dipakai secara nasional dalam forum resmi masa kini.

Bukan Hanya Kaum Muslim

Di Indonesia peci nyaris identik dengan Islam. Banyak tokoh Islam berfoto dalam keadaan berpeci. Jamaah-jamaah tokoh Islam pun juga pakai peci. Seejak abad XIII peci sudah diperkenalkan kepada orang Islam di Indonesia. Baru pada awal abad XX orang Islam di Indonesia beramai-ramai pakai peci. Dalam perjalanannya, peci dianggap sebagai identitas Islam.

Padahal peci kecil dipakai juga oleh rabi-rabi pemuka agama Yahudi dan juga pemuka agama Katolik. Peci agak besar seperti fez Turki dipakai juga oleh orang-orang Kristen ortodok di sekitar Timur Tengah. Bahkan jilbab juga dipakai wanita-wanita kristen ortodok.

Di Kampung Sawah, di mana orang-orang berkebudayaan Betawi beragama Kristen hidup, memakai peci bagi kaum laki-laki dan kerudung bagi perempuan adalah hal biasa. Perayaan Natal mereka kadang diisi dengan ondel-ondel juga. Mereka berusaha menunjukan Agama Kristen tidak membunuh budaya lokal. Itulah kenapa mereka masih berpeci juga.

Kassian Chepas, 'Sang Pemula' dalam Fotografi Indonesia, juga berpeci dalam sebuah foto dirinya yang dibuat tahun 1905. Kassian Chepas juga seorang kristen. Nama belakangnya, Chepas, adalah nama baptisnya. Chepas tentu bukan satu-satunya orang Kristen yang pakai peci.

Peci sedemikian lekat dengan Islam, padahal tidak demikian. Walikota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, peci hitam atau kopiah merupakan penutup kepala khas Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan agama Islam.



Bagian dari Sejarah

Peci ikut mewarnai sejarah Indonesia. Banyak tokoh pergerakan nasional setelah tahun 1920an mengenakan peci. Muhammad Husni Thamrin, yang sejak 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menghadiri sidang dengan kepala tertutup peci. Kemungkinan, sejak kecil Thamrin sudah berpeci dan masih mempertahankan peci sebagai identitasnya hingga dia meninggal.

Soekarno yang besar dalam budaya Jawa tentu beda dengan Thamrin yang besar dalam budaya Betawi, meski dia Indo. Sedari kecil, Soekarno terbiasa dengan blangkon atau tutup kepala khas Jawa. Begitu pun Bapak Bangsa sekaligus Bapak kos Soekarno, Hadji Oemar Said Cokroaminoto. Dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Cokro sempat mempergunakan blangkon sebagai identitas yang diikuti banyak pengikutnya. Belakangan, baik Cokro maupun Soekarno pun berpeci. Blangkon mereka tinggalkan.

Sebagai Ketua umum Sarekat Islam (SI), kebiasaan Cokro tentu diikuti. Awalnya, SI hanya berkembang di Jawa saja. Belakangan, SI berkembang di wilayah di mana blangkon bukan tutup kepala lagi. Apalagi pengurus SI lain yang bernama Agus Salim pun orang Padang. Salim semasa muda juga kebarat-baratan. Belakangan, foto-foto Agus Salim kebanyakan berpeci.

Setelah Indonesia merdeka, seorang pahlawan keturunan Belanda bernama Douwes Dekker pun pakai peci di masa tuanya. Ketika dia jadi menteri. Di masa lalu, dia tak berpeci. Peci tetap jadi tutup kepala yang umum.

Meski tak resmi, Peci sering dipakai sebagai anggota Tentara atau laskar. Mereka tak memiliki baret atau helm baja untuk menutup kepala. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru saja terbentuk pada 5 Oktober 1945, tak mampu sediakan baret dan helm baja. Jika ada yang memakai baret atau helm, itu seringkali hasil rampasan dari tentara musuh.

Tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar, Letnan Jenderal Soedirman pun juga berpeci seperti Soekarno. Dalam acara resmi, Soedirman lebih sering berpeci. Belum ditemukan ada foto Soedirman pakai baret. Itu bukan sesuatu yang ketinggalan zaman untuk ditiru. Ketika memeriksa barisan dalam apel partai Gerindra, Prabowo pun berpeci ketika berkuda. Mirip Panglima Besar Soedirman.

Setelah tahun 1950, peci makin jarang digunakan anak muda. Tak seperti di tahun 1945. Hanya orang-orang tua atau tokoh masyarakat yang masih suka memakainya. Anak muda hanya berpeci ketika ke masjid atau ke acara keagamaan.

Hingga usia senjanya, Soekarno terus memakai peci hitamnya. Peci membuat Soekarno terlihat gagah dalam foto-foto yang banyak beredar meski tubuhnya mulai ringkih dan kepalanya membotak.

Barangkali sosok laki-laki Indonesia sejati adalah yang berpeci. Sosok Pitung yang diperankan Dicky Zulkarnaen dalam beberapa film tentang Pitung di tahun 1970an, digambarkan sebagai sosok pria berpakaian merah dan berpeci. Pakaian itu seperti tampilan jago-jago silat Betawi setelah Pitung terbunuh oleh Polisi kolonial di tahun 1893. Tentu saja, para pendekar anti kolonial pun belakangan juga berpeci. Sebut saja Soekarno, Agus Salim, Alimin, Cokroaminoto. Begitu juga tokoh betawi berdarah Inggris, Muhammad Husni Thamrin.

Peci memang merupakan simbol kebangsaan. Sayangnya, peci kini hanya sekadar simbol. Menggunakan peci tak begitu saja membuat semua pemakainya menedalani keteladanan pendiri bangsa yang selalu menjaga diri dan menjadi panutan. Seperti Hatta dan Soekarno yang jauh dari korupsi. Apa yang terjadi sekarang adalah, sebagian besar pelaku kasus korupsi adalah orang-orang yang pernah berpeci dengan gagah. Nyaris tidak ada yang menjadikan peci sebuah tutup kepala penjaga kehormatan yang selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk berlaku terhormat.

Minggu, 23 Februari 2020

Peci Hitam & Para Pejabat


Sahabat pernahkah kau perhatikan foto para pejabat kita? Ada satu fakta tak terbantahkan, bahwa didalam kabinetnya siapapun sejak Soekarno - Hatta sampai sekarang, akan kita jumpai Peci Hitam dalam foto resmi para pemimpin kita.

Pemandangan penggunaan peci alias kopiah di kepala para pejabat kita memang sudah tak asing lagi. Setidaknya coba lihat-lihat semua foto presiden kita. Kecuali Megawati, presiden kita yang lalu-lalu sampai yang sekarang selalu mengenakan peci. Penutup kepala warna hitam ini terkadang memang identik dengan simbol kaum muslim nusantara, tapi nyatanya sejatinya peci merupakan identitas bangsa.

Tepatnya ketika dilaksanakan rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921, peci pertama kali ditegaskan sebagai identitas bangsa. Siapa yang mengatakannya? Ia adalah Bung Karno. Usianya masih 20 tahun waktu itu dan pada rapat Jong Java tersebut ia harus menampakkan diri, tapi ada rasa berkecamuk dalam dirinya. Ia mengamati kawan-kawannya yang menurutnya terlalu gengsi tidak mau pakai penutup kepala seperti blangkon misalnya Konon, mereka para kaum berpendidikan membenci pakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum rendah.

Namun, Soekarno muda ingin teguh pada pendirian bahwa ia tidak malu mengenakan peci. Di hadapan para hadirin rapat, Soekarno percaya diri mengenakan peci di kepalanya. Ia pun memecah kesunyian dan berteriak lantang: "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka!" Lantas sejak saat itu Soekarno selalu mengenakan peci di setiap orasinya bahkan jadi identitas partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI).

Jika menilik sejarahnya, sebenarnya memang peci sudah dikenakan oleh kaum lelaki di nusantara sejak abad ke-15 tepatnya di daerah Giri yang salah satu pusat penyebaran Islam. Sekitar tahun 1486, Raja Ternate Zainal Abidin belajar agama Islam ke Giri kemudian ketika kembali ke Ternate ia membawa peci sebagai buah tangan. Pun masyarakat Bone sudah mengenal penutup kepala semacam peci sejak lama. Mereka menyebutnya recca yang umumnya dipakai oleh pasukan Kerajaan Bone ketika mereka berperang melawan pasukan Tortor pada 1683.

Sebelum mengenal peci, masyarakat di Jawa menjadikan blangkon sebagai identitas bangsa. Soekarno sendiri sejak kecil mengenakan blangkon sebagai penutup kepala, begitu pula H.O.S Tjokroaminoto yang selalu mengenakan blangkon sampai diikuti oleh para muridnya. Sedangkan peci sendiri sudah diperkenalkan pada orang Islam di Indonesia sejak abad ke-13, lalu suatu ketika Soekarno melantangkan kalimat bahwa peci merupaka identitas bangsa, sejak itulah peci tidak lagi identik dengan kaum muslim.

“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Makna Peci

Ada yang mempercayai bahwa peci awalnya dibuat oleh Sunan Kalijaga yang menyebutnya dengan 'kuluk'. Ia menghadiahi Sultan Fatah, anak dari raja terakhir Kerajaan Majapahit sebuah kuluk yang melambangkan persamaan antara rakyat dan raja di mata Tuhan.

Selain itu, ada pula cerita bahwa peci dibawa oleh Laksamana Ceng Ho ketika berlayar ke Indonesia. Peci konon berasal dari kata pe yang artinya delapan dan chi yang artinya energi. Maka, bisa kita maknai peci adalah sebuah benda yang memiliki energi besar.

Di Turki, penutup kepala seperti peci ini disebut dengan Fez, sedangkan dalam bahasa Belanda disebutnya adalah petje yang artinya adalah topi kecil. Sementara itu, ada juga yang menyebutnya dengan kopiah yang artinya adalah kosong karena dipyah. Pyah adalah sebutan untuk 'dibuang' sehingga harapannya dengan mengenakna kopiah ini kita bisa membuang kebodohan dan sifat tidak terpuji lainnya.

Dari sekian banyak makna peci dengan ragam sebutannya itu, pada akhirnya kita memaknai bahwa peci memang menjadi salah satu pelengkap busana yang akan menambah karisma siapapun yang mengenakannya. Peci bahkan dianggap sebagai barang magis bagi orang-orang terdahulu. Hal ini ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III yang mengatakan demikian, "Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh.”

Dan bagi Soekarno sendiri, peci menjadi simbol kepemimpinan. Setidaknya itulah yang ia perdebatkan dengan dirinya sendiri ketika akan menghadiri rapat Jong Java. Ia katakan pada dirinya, "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin? Aku seorang pemimpin! Kalau begitu buktikanlah. Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam dan masuklah ke ruang rapat... Sekarang!"

Hingga akhir hayatnya Soekarno setia mengenakan peci di setiap acara penting. Pun akhirnya ini diikuti oleh para kaum terpelajar dan pemimpin bangsa yang mengenakan peci di acara-acara formal. Jas, dasi, dan kemeja sebagai pakaian formal yang lazim dikenakan oleh elit Barat memang kita ikuti, namun yang membedakan bahwa kita adalah Indonesia berada pada penggunaan peci di kepala.

Pesan Peci Hitam

Tertarik ikut melestarikan budaya nasional? Gunakan Peci Hitam...
Kami membuat dan menjual peci hitam berkualitas dengan harga grosir. Bisa request bordir khusus seperti logo isntansi, organisasi atau lainnya.

Minimal Order Hanya Dua Kodi,
Hubungi kami di 085729953770